
Sudan
Sudan menduduki posisi pertama secara global mengenai beban utang negara, dengan rasio utang terhadap PDB melonjak hingga 25% pada tahun 2025, bahkan melampaui Jepang. Pemicu utamanya meliputi konflik bersenjata yang berkepanjangan, keruntuhan institusional, dan krisis ekonomi yang parah dan diperparah oleh hiperinflasi dan mata uang nasional yang anjlok. Akses terbatas ke pembiayaan internasional dan basis fiskal yang rapuh telah membuat negara itu terhuyung-huyung. Kemungkinan gagal bayar dan keruntuhan ekonomi skala penuh tetap sangat tinggi dalam kondisi seperti itu.

Jepang
Jepang tetap menjadi salah satu negara dengan ekonomi paling maju di dunia, meskipun tingkat utangnya mencapai 234,9% dari PDB. Beban ini berasal dari kebijakan moneter yang sangat longgar selama beberapa dekade yang bertujuan untuk merangsang pertumbuhan di tengah inflasi yang terus rendah dan populasi yang menua. Sebagian besar utang Jepang berdenominasi yen dan dipegang oleh investor domestik, yang mengurangi risiko krisis mendadak. Namun, keberlanjutan fiskal jangka panjang negara itu semakin diawasi karena momentum ekonomi melambat dan belanja sosial meningkat.

Singapura
Singapura memiliki tingkat utang negara tertinggi ketiga di dunia di angka 174,9% dari PDB. Namun berbeda dari negara lainnya, angka yang tinggi tersebut tidak menandakan ketidakstabilan fiskal. Sebagian besar utang di Singapura bersifat teknis, yaitu diterbitkan untuk membangun dana investasi domestik dan sepenuhnya didukung oleh aset. Negara ini mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang stabil, cadangan yang kuat, dan kebijakan fiskal yang disiplin. Hasilnya, meskipun tingkat utangnya tinggi, risikonya tetap minimal dan negara tersebut terus menikmati peringkat kredit papan atas.

Yunani
Yunani yang mengalami krisis utang parah di tahun 2010-an, dan masih berjejer di antara negara-negara yang paling banyak berutang dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 142,2%. Meskipun telah bertahun-tahun melakukan penghematan dan reformasi struktural, beban utangnya tetap tinggi. Sebagian besar kewajiban negara tersebut adalah pinjaman lunak dan lembaga internasional yang membantu mengurangi risiko jangka pendek. Meskipun demikian, populasi yang menua, pertumbuhan yang lambat, dan ketergantungan yang besar pada pembiayaan eksternal terus membebani pemulihan fiskal jangka panjang Yunani.

Bahrain
Dengan utang publik sebesar 141,4% dari PDB, Bahrain merupakan salah satu negara dengan ekonomi paling rentan di kawasan Teluk. Negara tersebut menghadapi cadangan minyak yang terbatas dibandingkan dengan negara-negara tetangganya dan ketergantungan yang tinggi pada pinjaman eksternal. Defisit fiskal pascapandemi, meningkatnya pengeluaran sosial, dan kebutuhan untuk mempertahankan nilai tukar tetap telah meningkatkan tekanan utang. Meskipun mendapat dukungan finansial dari negara-negara Teluk di dekatnya, prospek jangka panjang Bahrain masih belum pasti. Stabilitas fiskalnya bergantung pada bantuan eksternal yang berkelanjutan dan volatilitas di pasar minyak.